mozvid.blogspot.com - Oleh: Anjar Fatonah, Rifa Nurul Fazriah, dan Iffah Izzah A.
A.Pendahuluan Tertinggal imam saat shalat menjadi hal yg masih dirasakan oleh banyak orang. Baik syar’i maupun tak alasan keterlambatannya. Dalam istilah syar’i, tertinggal imam saat takbiratul ihram disebut masbuk. Bagi sebagian thalibul ‘ilm, mungkin sudah tak gagap lagi terhadap masalah masbuk dlm shalat. Tapi bagi masyarakat awwam, masbuk menjadi hal yg masih sering ditanyakan. Apa yg dilakukan ketika masbuk, bagaimana menghitung jumlah rakaat, duduk takhiyat akhir bagi masbuk, dan lain sebagainya. Dalam makalah sederhana ini, penulis akan memaparkan hukum-hukum seputar makmum masbuk yg kiranya masih mengganjal bagi kami khususnya dan saudara muslim umumnya. B.Definisi Secara etimologi, masbuk (مسبوق) merupakan isim maf’ul dari kata sabaqa (سبق) yg artinya ‘yang tertinggal’[1]. Adapun secara terminologi, masbuk berarti orang yg tertinggal dari imam sebanyak satu rakaat / lebih dlm shalat[2]. Menurut ulama Hanafiyah masbuk adlh orang yg mendapati imam setelah imam dpt satu rakaat / lebih. Adapun menurut ulama Syafi’iyah masbuk berarti makmum yg melakukan takbiratul ihramnya terlambat (tidak satu waktu) dari takbiratul ihram imam pd rakaat pertama, / pd takbir setelahnya, sekalipun ia sempat berdiri untk dpt membaca al-Fatihah[3].
C.Yang Harus Dilakukan Saat Masbuk Dalam kitab al-Mughni disebutkan bahwa hukumnya sunnah bagi siapa yg masbuk untk segera mengikuti imam sekalipun ia tak dihitung mendapat satu rakaat[4]. Sebagaimana hadits yg diriwayatkan Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, Jika salah seorang diantara kalian datang untk shalat (berjamaah) sedangkan kami sudah dlm posisi sujud, maka hendaklah ia segera ikut sujud, dan itu tak bisa dihitung mendapat sesuatupun (rakaat), serta barangsiapa mendapatkan ruku’ (bersama imam), maka ia dihitung mendapat satu rakaat[5]. Sayyid Sabiq jg mengatakan bahwa siapa yg hendak shalat dan mendapati imam (ingin ikut berjamaah), hendaknya ia melakukan takbiratul ihram dlm posisi berdiri dan segera mengikuti gerakan imam (dalam kondisi apapun) yg sedang imam tersebut kerjakan[6].
D.Kapankah Dihitung Satu Rakaat? Para imam madzhab sepakat bahwa siapa yg sempat mengikuti rukuk imam, maka ia terhitung mendapat satu rakaat bersama imam. Kewajibannya untk membaca (surat al-Fatihah) pun menjadi gugur[7]. Dalam kitab al-Mughni disebutkan, bahwa siapa yg mendapat rukuk bersama imam, maka ia dihitung mendapat satu rakaat. Hal ni berdasarkan sabda Rasulullah SAW Barangsiapa yg mendapat rukuk, berarti ia mendapat rakaat. Satu rakaat tersebut terhitung jika makmum mendapati imam dlm keadaan thuma’ninah saat rukuk, / minimal bisa sekedar rukuk bersama imam. Jika ia rukuk saat imam bangkit dari rukuk, tentu rukuknya itu tak dihitung[8]. Imam asy-Syafi’i jg mengamini bahwa makmum yg bisa mengikuti rukuk imam, ia dianggap mendapat rakaat. Hanya saja, jika ada makmum yg mendapati imam dlm kondisi rukuk, ia bertakbir tetapi tak rukuk sampai imam mengangkat kepalanya, maka ia tak dianggap mendapat satu rakaat karena dia tak bisa mengikuti rukuknya imam. Sekalipun ia rukuk setelah imam mengangkat kepalanya, rukuk tersebut tak dihitung[9]. Menurut Malikiyah, makmum yg masbuk jika mendapati imam dlm kondisi rukuk, maka ia bertakbir untk takbiratul ihram dan jg takbir untk rukuk[10]. Begitu jg pendapat Syafi’iyyah yg menganggap makmum masbuk mendapat rakaat jika ia bisa mendapati imam dlm keadaan rukuk dgn dua takbir, yaitu takbiratul ihram dan takbir untk rukuk[11]. Adapun menurut Hanabilah, cukup dgn bertakbir sekali (takbiratul ihram). Hal ni berdasarkan pendapat Zaid dan Ibnu Umar, serta tak diketahui ada shahabat yg menyelisihi keduanya[12]. Sebagaimana yg kita ketahui, terdapat hadits yg melarang untk shalat sendirian di belakang shaf. Rasulullah SAW bersabda, Tidak ada shalat bagi orang yg shalat sendirian di belakang shaf. Lalu, jika masbuk takut tertinggal rukuk imam padahal ia belum masuk ke dlm shaf, bolehkah ia rukuk di belakang shaf? Menurut madzhab Malikiyah, hendaknya seseorang segera melakukan takbiratul ihram meskipun ia tak berada dlm shaf shalat, jika ia takut tertinggal satu rakaat sebab belum sempat takbiratul ihram saat imam mengangkat kepalanya dari rukuk. Ini dilakukan jika ia memperkirakan bisa masuk ke dlm shaf sebelum imam mengangkat kepalanya. Akan tetapi, jika ia mengira-ngira tak bisa masuk ke dlm shaf sebelum imam mengangkat kepalanya, maka ia harus berjalan tanpa tergesa-gesa. Kecuali saat itu adlh rakaat terakhir imam, maka ia boleh bertakbiratul ihram di tempatnya meski tak berada dlm shaf agar ia tak tertinggal shalat. Baru setelah bertakbir, ia berjalan dan masuk ke dlm shaf[13]. Adapun Hanabilah dan ahli fikih lain berpendapat bahwa seseorang tak boleh rukuk sebelum berada di dlm shaf, kecuali ia mau berjalan dan dpt masuk ke dlm shaf sebelum imam mengangkat kepalanya dari rukuk. Atau juga, ada orang lain yg datang dan berdiri di sampingnya[14]. Kasus seperti ni (rukuk di belakang shaf) pernah ditanyakan kepada Lajnah ad-Daimah. Mereka berfatwa bahwa shalatnya sah sebagaimana kisah Abu Bakrah yg rukuk sebelum sempat masuk ke dlm shaf. Rasulullah SAW bersabda kepadanya, Semoga Allah menambah keutamaanmu dan jangan mengulanginya. Rasulullah SAW tak menyuruh shahabat tersebut untk mengulangi shalatnya. Seandainya hal tersebut wajib, tentu beliau SAW telah memerintahkannya[15].
E.Masbuk Pada Shalat Jum’at, Jenazah, dan Gerhana 1.Hukum Masbuq dlm Shalat Jum’at Ulama fiqh dlm hal ni memiliki dua pendapat untk mengejar bagian shalat jum’at bersama Imam. Menurut madzhab Hanafi, siapa yg menyusul imam untk shalat jum’at pd bagian manapun dari shalatnya, maka hendaknya ia shalat mengikuti imam sedapat yg bisa ia ikuti, lalu menyempurnakan shalat jum’atnya sendiri sehingga terhitung melakukan shalat jum’at. Meskipun ia mendapati imam ketika duduk tasyahud akhir / sedang sujud sahwi. Ini merupakan pendapat Abu Hanafi yg paling kuat pendapatnya dan Abu yusuf.[16] Pendapat tersebut sesuai dgn sabda Nabi Muhammad SAW: ما أدركتم فصلوا و ما فاتكم فاقضوا Rakaat yg bisa kamu lakukan bersama imam maka kerjakanlah, sedang rakaat yg terlewat maka gantilah.[17] Sementara menurut mayoritas Ulama berpendapat, bahwa bila orang yg masbuk menyusul imam pd rakaat kedua maka ia mendapatkan shalat jum’at dan harus menyempurnakannya, ni merupakan pendapatnya Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas, Sa’id bin al-Musayyib, al-Hasan, ‘Alaqah, al-Aswad, ‘Urwah, az-Zuhri, an-Nakha’i, Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, Abi Tsaur dan Ashabi ar-Ra’yi.[18] Tetapi, jika ia tak dpt menyusul imam dirakaat kedua, maka ia bisa menyempurnakan shalatnya dgn melaksanakan shalat Zhuhur empat rakaat, [19] sebagaimana pemahaman global dari hadist Nabi, من أدرك ركعة من الجمعة فاليصلي إليها أخرى, و من فاتته الركعتان, فاليصل أربع Siapa yg dpt mengejar satu rakaat dari shalat jum’at, maka hendaknya ia meneruskan rakaat yg lainnya. Dan barangsiapa yg tertinggal dua rakaat, maka hendaklah ia shalat empat rakaat.[20] Adapun Syaikh Muhammad al-Mubarakfuri merajihkan pendapat Abu Hanifah bahwa siapa yg dpt ikut shalat bersama imam sekalipun hanya tsyahud akhirnya dihitung mendapat shalat jum’at, ia hanya perlu mengikuti imam dan menyempurnakan shalatnya setelah iamam salam, serta tak perlu shalat dhuhur. Hal ni dikarenakan kemutlakan hadits Rakaat yg bisa kamu lakukan bersama imam maka kerjakanlah, sedang rakaat yg terlewat maka sempurnakanlah. Beliau jg mengatakan belum menemukan hujjah shahih atas pendapat ulama lain yg berbeda[21]. Dalam kitab Badai’ ash-Shanai’ disebutkan bahwa shalat makmum yg mengikuti imam tetap sah sekalipun tak mengikuti khutbah[22]. 2.Shalat Jenazah Mayoritas Ulama sepakat, bahwa makmum masbuk disunnahkan untk mengqadha takbir yg tertinggal. Ini merupakan pendapat Sa’id bin al-Musayyib, ‘Atho, an-Nakho’i, az-Zukhri, Ibnu Sirin, Qatadah, Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Ashab ar-Ra’yi. Meskipun demikian, sebagian Ulama berpendapat tak perlu qadho bagi seorang yg masbuk dlm shalat jenazah, ni pendapat Ibnu Umar, al-Hasan, Ayyub as-Sakhtiyani dan al-Auza’iy. Imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa apabila makmum masbuk tak mengqadha maka hal itu tak mengapa[23]. Ulama madzhab memiliki pendapat masing-masing dlm cara menyempurnakan shalatnya tersebut. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat, jika imam sudah takbir sekali / dua kali lalu ada masbuk yg datang, maka ia menunggu sampai imam bertakbir agar makmum dpt ikut bertakbir bersama imam untk pembuka. Setelah imam salam, makmum masbuk mengqadha takbir yg tertinggal sebelum jenazah diangkat[24]. Begitu pula pendapat Malikiyah, jika ada masbuk yg tertinggal takbir imam, seyogyanya ia bersabar sampai imam bertakbir. Ia tak boleh bertakbir saat jamaah sedang berdoa. Tapi jika ia tetap bertakbir, maka shalatnya sah tetapi tak dihitung takbir tersebut. Setelah itu, makmum masbuk berdo’a setelah imam menyelesaikan shalatnya jika jenazah belum diangkat. Namun, jika jenazah sudah diangkat maka makmum masbuk hanya bertakbir tanpa do’a[25]. Lain halnya dgn Syafi’iyyah, menurut mereka jika makmum masbuk mendapati imam masih shalat, hendaknya ia segera bertakbir tanpa menunggu takbir imam yg selanjutnya[26]. Adapun menurut Imam Ahmad, siapa yg tertinggal takbir maka harus menggantinya dgn berurutan. Jika makmum masbuk ikut salam bersama imam dan belum sempat mengganti takbirnya yg lain maka shalatnya tetap sah.[27] Dengan kata lain, makmum masbuk disunnahkan untk mengganti takbir shalat jenazah yg tertinggal dgn tatacara shalatnya pula. 3.Shalat Gerhana Shalat gerhana matahari dan bulan memiliki tatacara khusus, yaitu dua kali rukuk dlm tiap rakaat, lantas kapankah makmum masbuk terhitung bergabung dlm shalat, pd rukuk pertama / kedua? Imam Malik berpendapat, terhitung mengerjakan satu rakaat dari dua rakaat shalat gerhana matahari bersama imam pd rukuk kedua, karena ruku kedua itulah yg fardhu, sedangkan ruku yg pertama hanyalah sunnah. Adapun pendapat yg kuat, al-Fathihah adlh rukun yg fardhu secara mutlak[28]. Apabila seorang masbuk mendapat rukuk kedua pd rakaat terakhir maka ia mendapat satu rakaat bersama imam, sehingga ia mengqadha rakaat keduanya dgn dua kali berdiri dan dua rukuk[29]. Adapun pendapat Syafi’i, siapa yg bergabung dgn imam pd ruku yg pertama pd rakaat pertama dlm shalat gerhana maka ia terhitung telah melakukan semua rakaat, Sedangkan bagi siapa saja yg baru bisa bergabung pd ruku kedua / berdiri kedua maka tak dianggap telah melakukan satu rakaat[30]. Karena hukum asalnya adlh ruku dan berdiri pertama, sedang ruku dan berdiri yg kedua hukumnya hanya mengikuti. Ini pendapat yg paling kuat yg diambil oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili[31]. Ibnu Qudamah mengatakan, jika seseorang masbuk baru bergabung bersama imam pd rakaat kedua, maka sudah pasti ia tertinggal satu rakaat.[32] Karena ia telah kehilangan satu rakaat dlm shalat tersebut. Sebagaimana jg ia telah kehilangan satu ruku dlm shalat gerhana. Dimungkinkan jg shalatnya tetap sah, karena shalat gerhana boleh dilakukan hanya dgn satu ruku saja dan ia tetap diberi pahala sebagai makmum masbuk.[33]F.Bacaan Saat Mengqadha Rakaat Yang Tertinggal Menurut madzhab Malikiyah, ketika seorang yg masbuk hendak melengkapi shalatnya yg tertinggal, maka ia mengganti bacaan dan mendirikan gerakannya. Maksud bacaan disini adlh bacaan khususnya serta sifatnya yg harus dibaca jahr / sirr. Ia menjadikan apa yg tertinggal sebelum ia ikut shalat bersama imam sebagai awal shalat bagi dirinya dan apa yg ia dpt bersama imam dihitung sebagai akhir shalatnya. Adapun bila dilihat dari sisi gerakan, maka gerakan pertamanya bersama imam dihitung sebagai awal rakaat shalatnya[34]. Pendapat ni selaras dgn pendapat Muhammad. Adapun Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf pendapat keduanya berbeda, bagi keduanya shalat masbuk bersama imam dihitung sebagai akhir shalatnya[35]. Berbeda dgn Syafiiyyah, mereka berpendapat bahwa apa yg masbuk dpt ikuti dari imam adlh awal shalat baginya, sekalipun itu merupakan akhir shalat imam. Ini merupakan pendapat Ali, Abu Darda, dan mayoritas ahlul ilmi[36]. Aplikasi dari beberapa pendapat di atas, menurut madzhab Maliki jika seseorang hanya mendapat satu rakaat terakhir di shalat maghrib, dia berdiri tanpa takbir lalu membaca al-Fatihan dan surat secara jahr. Setelah itu, dia duduk tasyahud awal. Kemudian dia shalat lagi satu rakaat dgn membaca al-Fatihah dan surat dgn jahr juga[37]. Adapun menurut Syafi’iyyah, jika makmum mendapat satu rakaat bersama imam, ia membaca jahr pd rakaat kedua, dan dgn sirr pd rakaat ketiga[38]. Di dalamnya ia jg membaca al-Fatihah dan surat lain[39].
G.Duduk Takhiyat Akhir Bagi Masbuk Menurut mayoritas ulama, duduk tawaruk[40] dlm tasyahud kedua (akhir) hukumnya sunnah. Tapi menurut Hanafiyyah hal tersebut bukanlah sunnah[41]. Karena dlm madzhab Hanafiyyah, posisi duduk tasyahud akhir sama seperti posisi duduk diantara dua sujud, yaitu duduk iftirasy[42]. Imam al-Atsram berkata, aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) jika ada seorang lelaki yg masbuk dan hanya mendapat satu rakaat bersama imam, saat imam duduk takhiyat akhir di rakaat keempat, apakah laki-laki tersebut harus duduk tawaruk juga? beliau menjawab, jika ia mau, maka ia boleh duduk tawaruk. Kemudian al-Atsram bertanya lagi, jika ia berdiri lagi untk menyempurnakan shalatnya kemudian duduk takhiyat akhir, apakah ia jg duduk tawaruk? Imam Ahmad menjawab, Ya, dia harus duduk dgn tawaruk karena itu merupakan rakaat keempat (terakhir) baginya[43]. Kalimat jika ia mau menunjukkan kebolehan. Dalam kitab Kifayah al-Akhyar disebutkan bahwa posisi duduk dlm shalat semuanya iftirasy kecuali duduk akhir, maka posisinya adlh tawaruk. Yang membedakan antara duduk akhir dan lainnya adlh duduk yg pertama (duduk iftirasy) sifatnya ringan karena setelahnya masih ada gerakan lain, maka keadaannya sesuai seperti duduk yg tak tetap. Berbeda dgn duduk takhiyat akhir, setelahnya tak ada gerakan lagi, maka ia dinisbatkan dgn posisi duduk yg tetap. Sehingga masbuk ketika duduk takhiyat akhir (bersama imam) hendaknya duduk dgn posisi iftirasy, karena setelah duduk tersebut masih ada gerakan lagi[44]. ‘Adil al-‘Azizi menyebutkan bahwa Imam Ahmad berpendapat bahwa makmum masbuk boleh duduk tawaruk saat duduk takhiyat akhir bersama imam jika ia berkehendak, ia jg boleh duduk iftirasy jika mau. Kemudian dia duduk dgn posisi tawaruk dlm tasyahud akhir setelah dia menyempurnakan kekurangan shalatnya. Namun, beliau menjelaskan bagi siapa yg dpt dua rakaat dhuhur bersama imam maka ia tak duduk dgn tawaruk kecuali di duduk takhiyat akhirnya. Beliau (Syaikh ‘Adil) merajihkan pendapat tersebut karena pd dasarnya posisi duduk dlm shalat adlh iftirasy, adapun duduk tawaruk hanya ada pd tasyahud akhir yg sesudahnya adlh salam, dan ni berlaku dlm shalat yg tasyahudnya lebih dari satu[45].
H.Bermakmum Pada Orang Yang Masbuk Menurut madzhab Hanafi, jika ada makmum masbuk berdiri untk menyempurnakan shalatnya lalu ada orang yg mengikutinya (bermakmum padanya), maka iqtida’nya tak sah[46]. Begitu halnya menurut madzhab Maliki, tidaklah sah iqtida’ kepada makmum yg mendapat satu rakaat bersama imam saat ia sedang menggenapi shalatnya setelah salamnya imam. Hal itu dikarenakan statusnya adlh makmum. Berbeda jika si masbuk tak mendapat satu rakaatpun, maka hukumnya sah beriqtida’ kepadanya[47]. Lajnah ad-Daimah ketika dimintai fatwa perihal makmum masbuk saat melengkapi shalatnya dijadikan imam oleh orang lain, maka menjawab, Jika makmum mendapat beberapa rakaat (bersama imam) kemudian ia berdiri untk melengkapi shalatnya setelah imam salam, maka jika ada yg ingin shalat bersamanya, ia boleh bermakmum padanya berdasarkan pendapat yg shahih menurut para ahli fikih. Sebagian ulama lainnya yaitu kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa iqtida’ kepada makmum masbuk yg sedang melengkapi shalatnya tidaklah sah. Meskipun demikian, hal ni termasuk masalah ijtihadiyah, karena tak ada nash sharih yg menjelaskannya.[48] Adapun Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai seseorang yg mendapati jama’ah tinggal satu raka’at. Ketika imam salam, ia pun berdiri dan menyempurnakan kekurangan raka’atnya. Ketika itu, datang jama’ah lainnya dan shalat bersamanya (menjadi makmum dengannya). Apakah mengikuti makmum yg masbuk semacam ni dibolehkan? Beliau menjawab, Mengenai shalat orang yg pertama tadi ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad dan selainnya. Akan tetapi pendapat yg benar, perbuatan semacam ni dibolehkan. Inilah yg menjadi pendapat kebanyakan ulama. Hal tadi dibolehkan dengan syarat orang yg diikuti merubah niatnya menjadi imam dan yg mengikutinya berniat sebagai makmum[49].
I.Penutup Dari apa yg telah kami paparkan di atas, maka dpt kami simpulkan bahwa masbuk harus segera mengikuti gerakan imam, tak perlu menunggu nunggu imam takbir untk rakaat selanjutnya. Masbuk dihitung mendapat rakaat apabila mampu mengikuti saat imam rukuk, adapun kewajiban membaca al-Fatihah gugur baginya. Makmum yg masbuk jg bisa dijadikan imam oleh orang yg mendapatinya sedang melengkapi shalatnya. Ketika imam duduk takhiyat akhir, maka lebih baik makmum masbuk duduk dgn posisi iftirasy.
Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
‘Azizi, al-, ‘Adil. Tamam al-Minnah fi Fiqh al-Kitab wa Shahih as-Sunnah. Alexandria: Dar al-‘Aqidah. 2009. Abady, Muhammad. ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Kairo: Dar al-Hadits. 2001. Abu Hubaib, Sa’di. Al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Isthilahan. Cet. ke-2. Damaskus: Dar al-Fikr. 1988. Baghawi, al-, Imam. At-Tahdzib Fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1997. Dardir, ad-, Ahmad. Aqrab al-Masalik Limadzhab al-Imam Malik. Nigeria: Maktabah Ayyub. 2000. Dimyati, ad-. Hasyiyah I’anah ath- Thalibin ‘Ala Halli Alfadz Fath al-Mu’in. Jakarta: Dar al-Kutub al- Islamiyah. 2009. Duwaisy, ad-, Ahmad. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta. Riyadh: Dar al-‘Ashamah. T.t. Habib, al-, bin Thahir. Al-Fiqh al-Maliki wa Adillatuhu. Beirut: Dar Ibnu Hazm. 1998. Hisni, al-, Taqiyuddin. Kifayah al-Akhyar Fi Halli ‘Inayah al-Ikhtishar. Cet. ke-2. Kairo: Al-Quds. 2012. Mubarakfuri, al-, Muhammad Abdurrahman. Tuhfah al-Ahwadzi. Kairo: Dar al-Hadits. 2001. Munawwir, Achmad Warson. Kamus al-Munawwir. Edisi Kedua. Cet. ke-14. Surabaya: Pustaka Progresif. 1997. Nafrawi, an-, Ahmad. Al-Fawakih ad-Dawani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1997. Nawawi, an-, Imam. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Cet. ke-2. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2011. . Raudhah ath-Thalibin. Edisi Khusus. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub. 2003. Qudamah, Ibnu. Al-Mughni ‘Ala Mukhtashar al-Khiraqi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2008. Qurawi, al-, Muhammad. Al-Khulashah al-Fiqhiyah ‘Ala Madzhab as-Sadah al-Malikiyah. TTp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. T.t. Rawas, Muhammad dan Hamid Shadiq. Mu’jam Lughah al-Fuqaha. Cet. ke-2. Ttp: Dar an-Nafais. 1988. Sabiq, As-Sayyid. Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar al-Fathi li al-I’lam al-‘Arabi. 2000. Sarkhasi, as-, Syamsuddin. Al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Fikr. 2000. Syafi’i, asy-, Imam. Al-Umm. Cet. ke-2. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2009. Taimiyah, Ibnu. Majmu’ah al-Fatawa. Kairo: Dar al-Hadits. 2006. Zuhaili, az-, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Cet. ke-2. Damaskus: Dar al-Fikr. 1985. . Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Islami wa al-Qadaya al-Mu’ashirah. Cet. ke-3. Damaskus: Dar al-Fikr. 2012. [1] Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Edisi Kedua, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 607. [2] Muhammad Rawas dan Hamid Shadiq, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, (Ttp: Dar an-Nafais, 1988), cet. ke-2, jilid 1, hlm. 426. [3] Sa’di Abu Hubaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Isthilahan, cet. ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), jilid 1, hlm. 165. [4] Ibnu Qudamah, al-Mughni ‘Ala Mukhtashar al-Khiraqi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), jilid 1, hlm. 401). [5] Muhammad Abady, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, (Kairo: Dar al-Hadits, 2001), jilid 2, hlm. 262. [6] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-‘Arabi, 2000), jilid 1, hlm. 166. [7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet. ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), jilid 2, hlm. 156. [8] Ibnu Qudamah, al-Mughni.., jilid 1, hlm. 400. [9] Imam asy-Syafi’i, al-Umm, cet. ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), jilid 1, hlm. 311. [10] Al-Habib bin Thahir, al-Fiqh al-Maliki wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1998), jilid 1, hlm. 346. [11] Ad-Dimyati, Hasyiyah I’anah ath- Thalibin ‘Ala Halli Alfadz Fath al-Mu’in, (Jakarta: Dar al-Kutub al- Islamiyah, 2009), jilid 2, hlm. 29. [12] Ibnu Qudamah, al-Mughni..., jilid 1, hlm. 400.[13] Al-Habib bin Thahir, al-Fiqh al-Maliki.., jilid 1, hlm. 348. [14] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh..., jilid 2, hlm. 157. [15] Ahmad ad-Duwaisy, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta, (Riyadh: Dar al-‘Ashamah, t.t), jilid 7, hlm. 319. [16] Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, (Kairo: Dar al-Hadits, 2110), jilid 2, hlm. 410. [17] HR Ahmad dan Ibnu Hibban, dari Sa’id bin Musayyab dari Abi Hurairah dgn sanad marfuu’. Menurut Imam Muslim, Ibnu ‘Uyainah melakukan kesalahan dlm lafdz ini, aku tak mengetahui apakah diriwayatkan pula dari Zuhri dan selainnya. Diriwayatkan pula oleh Imam yg enam dgn lafadz, Apa yg kalian dpt susul maka Shalatlah dan bagian yg terlewatkan maka sempurnakanlah. [18] Ibnu Qudamah, Al-Mughni..., jilid 2, hlm. 18. [19] Lihat Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu 2/273, al-Mausu’ah al-Fiqh al-Islam wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, 2/246, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 5/482. [20] Muhammad Abady, ‘Aun al-Ma’bud..., jilid 2, hlm. 471. [21] Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfah..., jilid 2, hlm. 411. [22] Imam al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, cet. ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987), jilid 1, hlm. 267. [23] Ibnu Qudamah, Al-Mughni..., jilid 2, hlm. 160. [24] Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), jilid 2, hlm. 118. [25] Lihat al-Khulashah al-Fiqhiyah ‘Ala Madzhab as-Sadah al-Malikiyah 1/150, dan Aqrab al-Masalik Limadzhab al-Imam Malik hlm. 30. [26] Imam an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin, Edisi Khusus, (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003), jilid 1, hlm. 643. [27] Ibnu Qudamah, Al-Mughni..., jilid 2, hlm. 161. [28] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh..., jilid 2, hlm. 409. [29] Ahmad an-Nafrawi, al-Fawakih ad-Dawani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), jilid 1, hlm. 429. [30] Imam an-Nawawi, al-Majmu’..., jilid 6, hlm. 95. [31] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh..., jilid 2, hlm. 410. [32] Ibu Qudamah, al-Mughni..., jilid 2, hlm. 106. [33] Wahbah az-Zuhaili, al-Maushu’ah al-Fiqhiyah wa al-Qadaya al-Mu’ashirah, cet. ke-3, (Damaskus: Dar al-Fikr. 2012), jilid 2, hlm. 364. [34] Muhammad al-Qurawi, al-Khulashah al-Fiqhiyah ‘Ala Madzhab as-Sadah al-Malikiyah, (TTp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), jilid 1, hlm. 111. [35] Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsuth..., jilid 1, hlm. 348. [36] Imam al-Baghawi, at-Tahdzib Fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), jilid 2, hlm. 168. [37] Muhammad al-Qurawi, al-Khulashah..., jilid 1, hlm. 111. [38] Imam al-Baghawi, at-Tahdzib..., jilid 2, hlm. 169. [39] Imam asy-Syafi’i, al-Umm...., jilid 1, hlm. 312. [40] Posisi kaki kiri dlm duduk tawaruk disilangkan di bawah kaki kanan, dan pantatnya ditempelkan di atas tanah. [41] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh..., jilid 1, hlm. 668. [42] Duduk dgn menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut. [43] Ibnu Qudamah, al-Mughni...., jilid 1, hlm. 427. [44] Taqiyuddin al-Hisni, Kifayah al-Akhyar Fi Halli ‘Inayah al-Ikhtishar, cet. ke-2, (Kairo: Al-Quds, 2012), juz 1, hlm. 196. [45] ‘Adil al-‘Azizi, Tamam al-Minnah fi Fiqh al-Kitab wa Shahih as-Sunnah, (Alexandria: Dar al-‘Aqidah, 2009), jilid 1, hlm. 271. [46] Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsuth..., jilid 2, hlm. 183. [47] Ahmad an-Nafrawi, al-Fawakih..., jilid 1, hlm. 318. [48] Ahmad ad-Duwaisy, Fatawa..., jilid 7, hlm. 395. [49] Ibnu Taimiyah, Majmu’ah al-Fatawa, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), jilid 11, hlm. 488.
other source : http://instagram.com, http://yuukiqueen.blogspot.com, http://liputan6.com
Title : Masbuk dalam Shalat
Description : mozvid.blogspot.com - Oleh: Anjar Fatonah, Rifa Nurul Fazriah, dan Iffah Izzah A. A.Pendahuluan Tertinggal imam saat shalat menjadi hal yg...
Description : mozvid.blogspot.com - Oleh: Anjar Fatonah, Rifa Nurul Fazriah, dan Iffah Izzah A. A.Pendahuluan Tertinggal imam saat shalat menjadi hal yg...
0 Response to "Masbuk dalam Shalat"
Post a Comment