mozvid.blogspot.com - Dalam Islam memang orang tua mendapat kedudukan yg tinggi dibanding orang lain dlm hal kewajiban seorang muslim berbuat baik. Bahkan dlm surat al-Isra' ayat 23, Allah swt menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua itu di nomor 2 setelah kewajiban taat kepada-Nya. Dalam beberapa hadits, Rasul saw berpesan untk tak menyakiti hati orang tua / menyinggungnya sedikitpun, karena Allah swt menggantungkan ridha-Nya kepada Ridha orang tua, begitu jg murka-Nya yg bergantung pd ridha orang tua.
Toh memang sudah digariskan, bahwa cintanya orang tua kepada anak sangat dlm dan luas, tak berbatas. Tidak ada orang yg mampu mengalahkan cintanya orang tua kepada anaknya. Firman Allah swt: "dijadikan indah pd (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yg diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak." (Ali Imran 14)
Saking cintanya kepada sang anak, tak sedikit orang tua yg berani mengorbankan nyawa demi kebahagian sang anak. Jadi memang kewajiban berbuat baik kepada orang tua -selain karena wahyu- sangat beralasan melihat cintanya yg sangat besar kepada si anak. Apapun pasti akan orang tua lakukan demi menciptakan kehidupan yg bahagia bagi sang anak.
Termasuk dlm hal jodoh bagi si buah hati. Menjadi dilema akhirnya bagi si anak ketika sang ayah / orang tua menjodohkan dirinya -dalam hal ni wanita- dgn lelaki yg sama sekali ia tak cinta. Jangankan cinta, kenal pun tidak.
Apapun itu, pastinya yg dilakukan orang tua -jika keduanya ditanya- itu tak lain karena cinta mereka kepada sang anak sehingga merasa perlu untk mencarika jodoh yg -menurut mereka- baik buat si anak. Yang akhirnya memaksa sang anak menerima, lalu muncul kemudian istilah "kawin paksa".
Dan fenomena ini, di zaman modern seperti saat ni pun masih ada, kita tak bisa menutup mata akan hal ini. lalu apakah yg seperti ni harus ditaati? Toh yg menjalani hidup kemudian nanti itu kan si anak dgn pasangannya bukan orang tua. Dan yg paling mengerti mana yg baik untk si anak pun anak itu sendiri?
Apakah kalau nantinya menolak kawin paksa ni dinilai sebagai anak yg durhaka kepada orang tua? Lalu bagaimana para ulama melihat ini?
Wilayah Ijbar (Otoritas Paksa)
Dalam pembahasan nikah di kitab-kitab madzhab fiqih, kita akan dapati adanya istilah "Wilayah al-Ijbaar"(otoritas paksa) yg dimiliki oleh sang wali, / orang tua kandung. Dimana sang ayah boleh menikahkan anak perawannya dgn siapapun itu tanpa ridha sang anak. Dengan kata lain memaksakan anaknya menikah dgn pilihannya walaupun si anak perawan tak suka.
Wilayah Ijbar ini memang sangat lekat sekali penisbatannya kepada madzhab al-Syafi'iyyah. Mungkin karena memang orang Indonesia sejak kecil terdidik dgn wawasan syafiiyah. Padahal sejatinya wilayah Ijbar itu ada di tiap madzhab fiqih, hanya saja kriterianya berbeda.
Dalam hadits yg diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2546): الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا "janda itu lebih berkah atas dirinya dibanding walinya, sedangkan perawan itu diminta izin, dan izinnya itu adlh ketika -ia ditanya- ia diam"
Madzhab al-Syafiiyah dan al-Hanabilah lewat hadits ni berkesimpulan bahwa yg punya hak atas dirinya sendiri adlh janda. Ketika Rasul saw menyebutkan 2 jenis wanita; janda dan perawan, lalu menetapkan hak itu hanya ada pd janda, berarti hak tak ada pd perawan. Nah, kalimat "tusta'maru" di situ pun diartikan sebagai anujuran saja, bukan kewajiban.
Karena itu, 2 madzhab ni menetapkan adanya wilayah Ijbar bagi wali atas anaknya yg perawan walaupun sudah besar/baligh. Kalau yg perawan baligh saja masih ada wilayah Ijbar apalagi yg kecil. Tapi tak ada paksaan untk janda, walaupun ia masih kecil.
Tujuannya untk melindungi si wanita agar tak salah pilih, terlebih lagi para wanita memang banyak tak bergaul dan mengenal laki-laki, yg akhirnya dikhawatirkan salah pilih, maka paksaan ni menjadi terlihat penting bagi si wanita. (al-Majmu' 16/169, Kasysyaf al-Qina' 5/43)
Madzhab al-Hanafiyah punya logika yg berbeda yg lebih terbuka. Bagi madzhab ini, akad pernikahan termasuk akad muamalah, dan maqshad (tujuan) syariah dari muamalah adlh menciptakan maslahah bagi pelaku akad tersebut. Maka wilayah Ijbar tidak ada dlm madzhab ini, karena yg tahu baik-buruknya hidup seseorang ya orang itu sendiri, termasuk bagi wanita perawan.
Maslahat hidupnya diserahkan pd dirinya sendiri. Seorang ayah/wali tak punya hak memaksakan laki-laki pilihannya kepada si anak perawan tersebut. Wilayah Ijbar dalam madzhab Imam Abu Hanifah hanya ada bagi anak perawan yg masih kecil dan belum baligh. Itu saja!
Sedangkan ketika seorang perawan sudah baligh, ia sudah mampu menentukan mana yg baik dan mana yg buruk untuknya tanpa bimbingan sang wali. Jadi untk pasangan hidupnya pun diserahkan pd dirinya. Itu alasannya. (Bada'i al-Shana'i 2/242)
Madzhab Imam Malik punya pendapat yg lebih demokratis dibanding madzhab-madzhab lainnya dlm hal ini. kalau madzhab al-Syafiiyah dan al-Hanabilah berpatokan pd perawan / janda. Dan Madzhab Imam Abu Hanifah berpatokan pd Mengerti / tak mengerti perawan tersebut akan maslahat hidupnya. Imam Malik justru menimbang kedua aspke tersebut; Janda / tak dan mengerti maslahat hidupnya / tidak.
Jadi, wanita perawan dlm madzhab ni diperlakukan berbeda. Yang mendapat Wilayah Ijbar itu perawan yg memang kurang cerdas dlm bersikap, tak bergaul, tak mengenal laki-laki sehingga harus ada yg memaksanya untk pilihan pasangan.
Sedangkan wanita rasyidah; yaitu wanita cerdas yg mandiri dan bisa serta mengerti mana yg baik dan buruk jg mana maslahat untk dirinya, ia dibebaskan untk memilih sendiri calon pendampingnya.
Yang janda pun -dalam madzhab ini- kalau ia masih kecil, dan tak mengerti perihal kemaslahatan hidupnya, orang tuanya boleh melakukan ijbar nikah untuknya. (Hasyiyah al-Dusuqi 2/244)
Syarat Ijbar
Memang semua punya maqashid yang sama, hanya saja interpretasi dan metode yg berbeda. Tapi kalau dilihat dari pemaparan pendangan masing-masing madzhab, rasanya madzhab al-Syafi'iyyah itu terkesan otoriter dan tak mengerti keadaan zaman; melegalkan kawin paksa yg -disadari / tidak- itu punya nilai yg negative sekali bagi wanita.
Sudah bukan rahasia lagi, pernikahan yg tak didasari rasa saling cinta akan berdampak buruk bagi hubungan tersebut, apalagi ada bumbu-bumbu pemaksaan di situ. Pernikahan yg tadinya bertujuan untk kemaslahatan, malah menjadi mafsadah (keburukan) bagi wanita.
Tapi, kalau diteliti, ternyata Ijbar (otoritas paksa) yg dimiliki oelh seorang wali atas anak perawannya itu diakui secara mutlak dlm madzhab Imam Syafi'i ini. Artinya seorang wali tak bisa memaksakan pernikahan anak perawannya kecuali telah memenuhi syarat ijbar itu sendiri.
Ada 7 syarat ijbar yang ditetapkan dlm madzhab ni bagi wali yg mau menikahkan anak perawan tanpa izin perawan tersebut. Kalau salah satu syaratnya tak terpenuhi, wilayah Ijbar yang dimilikinya pun gugur sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Syiribini dlm kitabnya al-Iqna' (2/415);
- Tidak ada permusuhan antara ayah/wali (pemaksa) dan anak perawannya
- Calon lelakinya haruslah yg se-kufu' (sederajat)
- Mahar yg diberikan harus dgn al-Mahr al-Mitsl (nilainya sama seperti kakak / adik si wanita / wanita yg punya starta sosial yg sama)
- Mahar harus dgn mata uang setempat
- Calon laki harus yg mampu bayar mahar
- Tidak boleh menikahkannya dgn laki-laki yg justru bisa merugikannya, seperti laki-laki yg punya penyakit, sudah berumur tua, / cacat fisik/mental
- Calon lelaki tak sedang dlm kewajiban nusuk Haji
Kalau begitu jelas memang bahwa sang wanita perawan pun punya hak untk menentuka siapa yg akan menjadi pendampingnya, dan sang wali tak bisa main asal paksa menikahkah tanpa seizing dan ridhanya.
Sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu 'anha meriwayatkan sebuah hadits yg ni direkam dlm beberapa kitab sunan (Ibnu Majah, al-Nasa'i, al-Daroquthni) termasuk musnadnya Imam Ahmad; Ada seorang wanita yg mengadu kepada Nabi perihal ayahnya yg menikahkannya secara paksa dgn lelaki yg ia benci.
Rasul pun kemudian memanggil sang ayah dan memberikan pilihan kepada si wanita tersebut untk membatalkan dan memilih siapa yg ia sukai. Lalu wanita tersebut menjawab:
فَإِنِّي قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ "Aku telah membolehkan apa yg dilakukan oleh ayahku, hanya -kedatanganku ke mari- aku ingin memberitahukan kepada wanita lain bahwa wanita jg punya hak!"
Wallahu a'lam
other source : http://hipwee.com, http://zarkasih20.blogspot.com, http://reddit.com
Title : Kawin Paksa Boleh?
Description :
Description :
0 Response to "Kawin Paksa Boleh?"
Post a Comment