Sejarah Singkat Imam Syafii - Dalil

mozvid.blogspot.com - Beliau bernama Muhammad dgn kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adlh Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dgn nasab Rasulullah pd diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Sejarah Singkat Imam Syafii
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yg tak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dlm keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adlh seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yg memiliki kemiripan fisik dgn Rasulullah saw. Dia termasuk dlm barisan tokoh musyrikin Quraysy dlm Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dgn nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yg menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.

Sejarah Singkat Imam Syafii
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yg lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yg memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adlh seorang wanita yg tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yg tinggi. Dia seorang yg faqih dlm urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pd tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adlh pengganti Abu Hanifah dlm bidang yg ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yg menyebutkan beberapa tempat yg berbeda. Akan tetapi, yg termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adlh kota Ghazzah (Sebuah kota yg terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dgn kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yg disebut-sebut adlh kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dpt digabungkan dgn dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dgn penduduk negeri itu yg keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yg mulia lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tak mampu untk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dlm menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yg mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yg dia diktekan, dia berkata kepadaku, Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu. Dan ternyata kemudian dgn segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dlm kemiskinan, beliau tak berputus asa dlm menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dgn tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yg telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pd saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pd saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pd usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dgn Imam Malik di Madinah.

Beliau jg tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yg telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yg kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yg pernah berjumpa dengannya dan yg hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dgn menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau jg mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yg dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untk berfatwa, timbul keinginannya untk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yg telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pd tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau jg mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yg lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal yg selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai jg ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yg tak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dlm sejarah, Imam Syafi‘i hidup pd masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yg berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, tiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ni membuat mereka bersikap sangat kejam dlm memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yg sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yg mendalam pd kaum muslimin secara umum dan pd diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yg mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dgn sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yg saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yg sangat sulit.

Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yg bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dgn tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yg meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adlh kecintaan yg didasari oleh perintah-perintah yg terdapat dlm Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.

Tuduhan dusta yg diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dlm keadaan dibelenggu dgn rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka.
Ketika sampai pd gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yg dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dlm keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dgn ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pd kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dgn mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pd saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yg telah mendengar nama beliau dan ilmunya yg mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adlh Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untk menulis sebuah kitab yg berisi khabar-khabar yg maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yg terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untk kedua kalinya dlm rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yg tersisa hanya 2 / 3 halaqah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pd tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dlm pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adlh orang yg paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ni dgn manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ni dipegangnya- di dlm memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dlm menghadapi tiap masalah, menjadikannya rujukan dlm memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal jg memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adlh yg dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yg masuk penjara, bila tak dibunuh. Salah satu di antaranya adlh Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yg mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dlm menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dlm menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yg lain. Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dgn mereka. Beliau berkata, Setiap orang yg berbicara (mutakallim) dgn bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adlh benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka. Imam Ahmad berkata, Bagi Syafi‘i jika telah yakin dgn keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yg terbaik adlh dia tak tertarik sama sekali dgn ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih. Imam Syafi ‘i berkata, Tidak ada yg lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya Al-Mazani berkata, Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dlm ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dlm ilmu kalam.

Ketidaksukaan beliau sampai pd tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adlh dipukul dgn pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dgn mengumumkan bahwa itu adlh hukuman bagi orang yg meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yg selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pd malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dlm usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yg luas.

Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, Apa yg telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ? Beliau menjawab, Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pd diriku mutiara-mutiara yg halus

Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yg judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dlm al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adlh al-Umm, yg terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dlm syariat.

Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
- http://muslim.or.id/?p=9

Title : Sejarah Singkat Imam Syafii - Dalil
Description : mozvid.blogspot.com - Beliau bernama Muhammad dgn kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adlh Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bi...

0 Response to "Sejarah Singkat Imam Syafii - Dalil"

Post a Comment

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *